Hak Pihak Ketiga dalam Perkara Perdata

 

PERLAWANAN PIHAK KETIGA (Derden Verzet)

  1. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi atau sita jaminan tidak hanya dapat diajukan atas dasar hak milik, tetapi juga dapat didasarkan pada hak-hak lainnya, seperti hak pakai, HGB, HGU, hak tanggungan, hak sewa, dan lain-lain.
  2. Pemegang hak harus dilindungi dari suatu (sita) eksekusi dimana pemegang hak tersebut bukan sebagai pihak dalam perkara antara lain pemegang hak pakai. hak guna bangunan, hak tanggungan, hak sewa dan lain-lain.
  3. Pemegang hak tanggungan, apabila tanah dan rumah yang dijaminkan kepadanya dengan hak tanggungan disita, berdasarkan klausula yang terdapat dalam perjanjian yang dibuat dengan debiturnya langsung dapat minta eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala PUPN.
  4. Dalam perlawanan pihak ketiga tersebut pelawan harus dapat membuktikan bahwa ia mempunyai alas hak atas barang yang disita dan apabila ia berhasil membuktikan, maka ia akan dinyatakan sebagai pelawan yang benar dan sita akan diperintahkan untuk diangkat. Apabila pelawan tidak dapat membuktikan bahwa ia adalah pemilik dari barang yang disita maka pelawan akan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar atau pelawan yang tidak jujur, dan sita akan dipertahankan.
  5. Perlawanan pihak ketiga yang diajukan oleh istri atau suami terhadap harta bersama yang disita, tidak dibenarkan karena harta bersama selalu merupakan jaminan untuk pembayaran hutang istri atau suami yang terjadi dalam perkawinan, yang harus ditanggung bersama.
  6. Apabila yang disita adalah harta bawaan atau harta asal suami atau istri maka istri atau suami dapat mengajukan perlawanan pihak ketiga dan perlawanannya dapat diterima, kecuali :
    1. Suami istri tersebut menikah berdasarkan BW dengan persatuan harta atau membuat perjanjian perkawinan berupa persatuan hasil dan pendapatan.
    2. Suami atau istri tersebut telah ikut menandatangani surat perjanjian hutang, sehingga harus ikut bertanggung jawab.
  7. Perlawanan pihak ketiga adalah upaya hukum luar biasa dan pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi.
  8. Eksekusi mutlak harus ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang memimpin eksekusi yang bersangkutan, apabila perlawanan benar-benar beralasan, misalnya, apabila sertifikat tanah yang akan dilelang sejak semula jelas tercatat atas nama orang lain, atau dari BPKB yang diajukan, jelas terbukti bahwa mobil yang akan dilelang itu, sejak lama adalah milik pelawan. Harus diperhatikan apabila tanah atau mobil tersebut baru saja tercatat atas nama pelawan, karena ada kemungkinan tanah atau mobil itu diperoleh oleh pelawan, setelah tanah atau mobil itu disita, sehingga perolehan barang tersebut tidak sah.
  9. Terhadap perkara perlawanan pihak ketiga ini, Ketua Majelis yang memeriksa perkara tersebut, selalu harus melaporkan perkembangan perkara itu kepada Ketua Pengadilan Negeri, karena laparon tersebut diperlukan oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk menentukan kebijaksanaan mengenai diteruskan atau ditangguhkannya eksekusi yang dipimpinnya.
  10. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan, yaitu sita conservatoir dan sita revindicatoir, tidak diatur baik dalam HIR, RBg, atau Rv. Dalam praktek menurut yurisprudensi putusan Mahkamah Agung tanggal 31-10-1962 No. 306 K/Sip/1962 dalam perkara : CV Sallas dkk melawan PT. Indonesian Far Eastern Pasific Line, dinyatakan bahwa meskipun mengenai perlawanan terhadap pensitaan conservatoir tidak diatur secara khusus dalam HIR, menurut yurisprudensi perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga selalu pemilik barang yang disita dapat diterima, juga dalam hal sita conservatoir, ini belum disahkan (van waarde verklaard). Lihat putusan Mahkamah Agung tanggal 31-10-1962 No. 306 K/Sip/1962, dalam Rangkuman Yurisprudensi II halaman 370).

 

Sumber: Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 101-103.

 

 

 

amara16